Translate

Minggu, 31 Maret 2013

esai


JURNALIS JAWA DALAM PARIKSIT GOENAWAN MUHAMAD

Sebuah sajak ditulis dengan berbagai alasan, terutama karena dengan sajak seseorang bisa mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya sekaligus juga menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sajak adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, yang dalam dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan sesuatu. Menulis sajak merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus menyenangkan bagi penulisnya sebab di situ terjadi pergolakan, pertentangan, kerja keras intelektual, dan tentu saja bukan merupakan hal main-main.
Di dalam sajak akan ditemukan kemuraman, ketegangan yang terus-menerus, kegelisahan yang tak henti-henti, dan perjuangan yang sungguh berat. Menulis puisi dengan demikian bukanlah kerja sembarangan, bukanlah pekerjaan yang sederhana sebab menulis puisi adalah menciptakan “dunia”. Sebuah sajak adalah sebuah “dunia” tersendiri yang merupakan hasil kreativitas penyair dengan segala kekuatan dan kerja kerasnya yang tidak tanggung-tanggung.
Goenawan Mohamad (GM)  merupakan orang Jawa yang masa kecil hingga awal dewasanya tinggal di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata tidak melupakan tanah budaya asalnya, bahkan demikian lekat dan terdapat jejak yang dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam pilihan tema, tetapi yang terasa dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang lembut menghanyutkan, seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di satu sisi nadanya adalah keriuhan kota-kota yang ingar  dan menusuk. Perpaduan antara kelambanan, kelembutan Jawa dengan keriuhan kota-kota besar adalah seperti yang terasa dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad (GM). Kita bisa merasakan betapa kuat suasana Jawa yang tenang dan kelembutannya pada potongan sajak ini.

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi.
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari.
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba.
Kudengar angin mendesak ke arah kita
(DiBeranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi: Goenawan Mohamad)
           
                                         
Tidak hanya suasana yang ditampilkan oleh GM dalam  puisi-puisinya tapi tokoh-tokoh Jawa seperti Pariksit juga ia tulis dalam judul yang sama dengan nama tokohnya. Sajak Pariksit adalah sajak yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri Amarta Pariksit adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Kerajaan Kuru dan cucu Arjuna, ayahnya adalah Abimanyu. Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Srenggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Samiti. Raja ini mati atas kutukan Crenggi melalui tangan Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena ayahnya (Dorna) terbunuh oleh pihak Pandawa dalam peperangan dengan Kurawa.

PARIKSIT

 Pariksit menunggu hari segera lewat.
 Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
 hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
 itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di puncak menara itu
 tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

 ..........I
 .......Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
 ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
 dinding menara, penjara dari segala penjara:
 ia yang lahir dari busur langit
 dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
 .......Angin yang purba, yang
 semakin purba: dingin dan asing.

 .......Jauh di bawahku terpacak rakyatku
 menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
 menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
 aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
 sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
 sendiri. Mereka yang tak tahu
 kita tak bisa berbagi.
 .......(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
 mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

 Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
 dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
 akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
 .......Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
 menantang padaku.

 ..........II
 .......Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
 Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
 keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
 Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
 tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku

 .......Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
 rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
 Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
 yang tak memerdekakan hatiku.
 .......Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

 .......Barisan burung-burung yang kian jauh
 seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
 sepi. Kota yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
 rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
 bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hidup
 bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
 .......Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
 .......Telah lama.

 Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
 bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?

 ..........III
 .......Maka segeralah senja ini penuh dan
 titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
 membinasakan dan melebur daku jadi abu.

 .......Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
 semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
 Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
 yang mengalahkan kecut hatiku.

 .......Karena memang kutakutkan selamat tinggal
 yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
 kuhembuskan nafasku dan tak kembali
 tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
 tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
 kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang
 jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
 .......Seperti bila langit dan titik-titik bintang
 yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
 dalam telanjang dini hari

 .......Pada akhirnya kita
 tak senantiasa bersama. Ajal
 memisah kita masing-masing tinggal.

 ..........IV
 .......Wahai, adalah dia? (Berderak tingkap tiba-tiba:
 tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
 dan angin senantiasa.)
 .......Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
 saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
 diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
 kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
 aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
 .......Dan tak kukenal wajahku kembali.

 .......Di ruang ini, kunobatkan ketakutanku. Di menara ini
 kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
 dari alam dan nasibku sendiri.
 Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
 Dan mati.

 ..........V
 .......Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
 Yang tak sia-sia ini.
 Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
 kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
 kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
 seperti musim bunga.
 .......Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
 jentera-jentera yang berbisik ke laut,
 berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
 dan degup demi degup darah
 Lalu terasa: di ruang abadi ini
 kita akan selalu pergi
 dalam nafas panas
 yang santai.
 Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
 dan senja,
 dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
 seperti bulan tumbuh
 dan cemara
 menggigil dingin ke udara.

 1963

Sumber: Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.

Tokoh mitologi jawa, Raja Pariksit dalam versi cerita yang diciptakan Goenawan, berjudul Pariksit akhirnya berani membuat pilihan yang baik dan benar. Dia terancam kutukan: akan dibunuh sebelum matahari terbenam oleh Naga Taksaka atas pesan seorang Raja Crenggi yang dihinakannya. Pariksit menyembunyikan diri di atas menara, yang diamankan seoptimal mungkin.

........II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku

Di sana dia menunggu sendirian, sama sekali terasing dari sesama manusia. GM menggambarkan kesunyian yang dirasakan Pariksit dibagian I dan IV

I
.............
Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.

IV
“... begitu sunyi, terenggut dari alam dan nasibku sendiri”


Tampaknya dia menganggap persembunyiannya berhasil dari kutukan kematiannya.

dan telah kuhindari maut, mautku sendiri.

Tetapi akhirnya Pariksit sadar bahwa pembebasan dari maut yang dicarinya bukan pembebasan yang sungguh-sungguh yang dinobatkan dalam menara itu tidak lain hanya ketakutannya, ketakutan akan: “selamat tinggal yang kekal” yang juga diungkapkan dalam kata-kata lain seperti: “angin yang purba, yang semakin purba: dingin dan asing”
Pada akhirnya dia menyerah “Pada akhirnya kita tak senantiasa bersama, Ajal memisahkan kita masing-masing tinggal”  lalu dia menyeru “Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!/ Dan mati.” Sebab maut bagi manusia wajar bahkan “Demi matiku, kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini {...} dan segalanya pun terurai, seperti musim bunga”. Dengan penerimaan maut sebagai sesuatu yang wajar manusia dapat menerima lingkaran eksistensi:

Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara

Tidak hanya dalam Pariksit kita bisa menemukan betapa kentalnya kejawaan GM. GM merupakan orang Jawa yang memiliki intelektualitas tinggi tidak memberikan peran kepada tokoh puisinya sebagaimana pada umumnya ia melihat dari kacamata lain yang membuat pembaca merasakan sisi lain dari cerita yang sebelumnya telah didengar tentang tokoh-tokoh jawa. Intelektualitas yang dimiliki GM tidak hanya sebatas pada pemilihan cara pandang tapi juga pada setiap lariknya yang dapat dirasakan sebagai perenungan mendalam tentang bagaimana mengatur pola pikir yang baik. Jika dalam cerita kebanyakan raja Pariksit mati begitu saja setelah digigit naga Taksaka di sini GM memberikan arti lain sebelum hal itu terjadi. GM mengungkapkan kondisi batin Pariksit saat ia menunggu kutukan akan dirinya berakhir bahwa penghindaran akan kematian sebenarnya adalah hal yang sia-sia, jika memang nanti ia bebas dari kutukan kematian itu yang terjadi sebenarnya adalah penundaan saat kematian itu terjadi.

.......Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
 saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
 diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
 kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
 aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
 .......Dan tak kukenal wajahku kembali.

Dalam transformasinya, Goenawan seperti berposisi sebagai seorang jurnalis yang memberikan sebuah realitas kepada pembacanya. Namun realitas yang ada dalam sajak Goenawan adalah realitas yang telah mengalami pendalaman, dalam arti dia telah memilih salah satu sudut pandang tertentu yang lebih menukik ke sasaran tema yang dikehendakinya. Di sini, berita sudah menjadi tidak sekedar berita yang hanya mengabarkan permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah perenungan yang dalam tentang sebuah nasib yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Meskipun dalam kapasitas raja sekalipun, Pariksit yang penuh pengawalan ketat prajurit dan rakyatnya, jika nasib telah menggariskan dirinya harus mati maka pembunuh itu bisa lolos dari pengawalan dengan leluasa dan mencabut nyawa sang raja.
Dalam sajak Pariksit Goenawan mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal rakyatnya berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri dan tak dipengaruhi oleh kekuatan pembimbingan raja.

Mereka yang mendoa, sementara aku tiada berdoa.
Mereka yang kini mempunyai angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka tak tahu kita tak bisa berbagi.
Kisah Pariksit tidak sekedar sebuah cerita yang mengungkapkan matinya raja terakhir kaum Pandawa, tetapi Goenawan berhasil mengungkapkan sisi lain yang jauh dan dalam, yang menukik ke dasar kalbu kemanusiaan tentang nasib yang ketika tidak terjadi hari ini maka akan terjadi dihari berikutnya, bukan pasrah yang ia maksudkan tapi keberanian dalam menghadapinya. GM mengungkapkannya lewat seruan yang diwakilkan Pariksit
.......Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
 Yang tak sia-sia ini.
 Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
 kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
 kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
 seperti musim bunga.


Hampir semua sajak Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, sejarah dan dongeng, berita dan kedalaman. Dalam kapasitasnya sebagai jurnalis, intelektual, dan penyair. Dengan demikian sajak-sajak Goenawan adalah sebuah ungkapan intelektual yang mempunyai keberpihakan pada sesuatu yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Sajak-sajak Goenawan merupakan bebunyian yang betul-betul mempunyai makna yang dalam, sehingga bukan saja berita yang didapat pembaca tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang ujung-ujungnya melahirkan pula semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita atau realitas yang dikabarkan sajak-sajak itu.



Minggu, 24 Maret 2013

puisi 3


............. 

kau menjerit pasti kesakitan
sakit yang kau sebenarnya tak mau
dibunuh untuk keyakinan fana
tapi ternyata itu yang lebih penting
kau sakit dan sakit sakitan
aku memang juga
tapi pasti tak sesakitmu
tak sesakit kau yang terus dijejali
sabarlah sebentar lagi berakhir sakitmu
karena menjadi mati
maaf ibu membunuhmu


16122012

puisi 2


............. 

disini menjadi buih
untuk kemudian sedikit menjadi layu
aku yang tak kau urusi
hanya sengaja bahwa aku ada
kau bilang itu diri kami sebagai kamu
tapi bukan ini dan tidak lagi itu
tak kau urusi brarti juga tak hiraui


11072012

cerpen 2


Di Kaki Bukit Biru
Oleh: Ninis Sofie

Tidak seperti biasanya, jika aku dan dia sudah terbiasa bersama dengan kebersamaan yang bisa dikatakan tak terpisahkan, tapi sekarang menjadi sepi dunia seakan tak akan lagi bersama karena memang aku sudah sendiri. Di sini hanya ada aku, udara yang ku hirup hampir sulit kurasakan, angin bahkan tidak ada, embun yang menetes seperti memberikan perih dalam sayat luka. Melamun bukan hal yang biasa aku lakukan ketika aku bersamanya. Suara-suara kendaraan bagai lagu kematian yang menyuarakan tangis dan kicauan burung tak sanggup menghentikannya. Begitulah kiranya diriku tanpa dirinya.

***

Tit,, tit,,tit,,tit,, tit,,
Handphoneku berbunyi
“halo”
“halo manis, kita ketemu di tempat biasa ya”
“ok By”

Bukan siapa-siapa aku dan Aby adalah teman, yah,, mungkin memang hanya teman. Mungkin saja.
Tempat biasa sudah menunggu, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk membicarakan segala hal yang ingin kau bicarakan bersama seseorang. Pohon yang rindang dengan kursi kayu di bawahnya. Ada banyak pohon, disebarang sana ada pohon dengan ayunan menggantung. Kami biasanya lebih memilih di sini, bukan karena ada kursi malah kami lebih sering duduk di rumput menikmati segarnya udara dibawah pohon yang begitu rindang dengan pemandangan gunung yang masih hijau kau bisa bayangkan betapa segar udara disini. Begitu memberi ketenangan bagi pikiran yang butuh ketenangan.
Aby tiba-tiba datang dan menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang
“Aby, kebiasaanmu gak pernah berubah ya!”
“kamu kok tahu kalau aku”
“ya tahu lah”
“kan bisa saja orang lain yang melakukannya, di sini kan tempat umum jadi bukan hanya aku yang berada di sini, yah memang sih di sini terlihat sepi meskipun tempat umum, tapi itu malah membuat untung” kata Aby sambil tersenyum menggoda
“kenapa begitu, jangan ngeres otakmu”
“ye,, siapa yang ngeres, otakmu itu yang perlu dicuci”
“kenapa harus otakku”
“lha kamu pikirannya ngeres aja, maksudku memberi untung tadi itu, kan kalau masih sepi berarti alamnya masih alami, gak ada yang mengotori, masih segar, gitu maksudku”
“alah,, kamu cuma mengalihkan pikiran ngeresmu saja”
“ya sudah terserah si nona manis ini deh”
“tu kan mulai ngrayu kan”
“sudah lah aku pengen ketemu kamu bukan mau ngrayu kamu, dikira kurang kerjaan apa aku?”
“trus mau apa”
“gini nona manis, kamu tahu apa yang sedang terjadi dengan bukit di depan sana yang kita lihat dari sini sepertinya berwarna kebiruan?”
“kenapa emangnya, ada yang salah dengan warna itu?”
“kamu tahu kenapa?”
“aduh,, sudah jangan berbelit-belit langsung ketopik pembicaraanmu saja”
“dengerin dulu tuan putri nona manis”
“jangan lebay kamu”
“ok,, ok ,, gini kita kan selalu berada disini ketika diskusi apa pun , tentang aku, tentang kamu, tentang teman-teman kita, tentang apa saja yang ingin kita bicarakan, dan kita selalu memandang bukit itu kan, warna kebiruaanya memang menakjubkan kita seperti bisa melihat laut diatas bukit dengan ranting-ranting sebagai ikan terinya dan dedaunan sebagai terumbu karang.”
“maksudmu kamu ingan memindahkan bukit itu supaya kita dapat pemandangan baru gitu”
“pikiranmu aneh amat sih nona manis, ya mana bisa aku, gila apa, maksudku itu kebalikannya”
“kebalikannya?,, maksudnya kamu ingin memindahkan bukit yang kita duduki ini ketempat lain supaya ada pemandangan baru, gitu?”
“aduh,,, aduh,, apa sih yang ada diotakmu ini, ya enggak lah manis, maksudku kebalikannya itu kita berada disana dan melihat kesini”
“kita naik kebukit kebiruan itu dan duduk memandang bukit yang sekarang kita duduki ini?”
“pinter juga nona manis ini ternyata”
“aby, berhentilah memanggilku nona manis”
“baiklah tuan putri nona manis”
“terserah kamu saja lah”
“lalu bagaimana”
“apanya”
“naik kebukit sana”
“gila ya itu kan bukan tempat pendakian, jangan samakan dengan disini, kalau disini naik motor, naik mobil jalan kaki bentar kita sudah sampai dipuncaknya, karena memang sudah tempat umum, lah kalau disana? Bahaya tahu gak sih”
“aku sudah pernah coba”
“gak percaya, kamu naik bukit ini saja sudah ngos-ngosan apa lagi mendaki bukit kebiruan itu, kalau kamu mati disana siapa yang mau bawa mayat kamu, aku? Ogah lah”
“ya sudah aku pergi sendiri lagi”
“silakan”
“kok gitu”
“kita lihat besok saja, aku pikir-pikir dulu, ok Aby yang cerewet?”
“baiklah, aku jamin kamu bakalan berangkat kok”
“sok tahu”

Duduk di teras dengan memegang buku, aku tak bisa membacanya bukan karena aku tak bisa membaca tapi masih berpikir sesuatu. Ada alasan kenapa aku harus berpikir terlebih dahulu sebelum mendaki bukit kebiruan itu. Bukan karena aku takut, bukan karena aku sibuk aku sudah banyak mendaki bukit, mendaki gunung berapi sudah banyak yang aku daki, tapi untuk Aby dia terkadang terlihat berpura-pura dengan keinginannya untuk mendaki, sepertinya ia tahu aku suka mendaki, lalu dia pura-pura sudah mendaki banyak gunung dan selalu mengajakku mendaki gunung yang belum jadi pendakian. Aku memikirkannya, karena dia belum terbiasa dengan kehidupan pendakian, belum cukup pengalaman untuk mendaki bukit kebiruan itu yang nyatanya masih belum pernah dijamah orang. Iya, aku tertanya memikirkan Aby, memikirkan orang yang selama ini tak jelas apa yang ia lakukan ketika bersamaku.

Tit,, tit,,tit,,tit,, tit,,
Handphoneku sepertinya berbunyi
Dari Aby
“halo”
“nona manis, aku barusan tertidur di teras, trus aku mimpi buruk”
“trus kenapa kamu bilang ke aku, kamu kira aku nyihir kamu dari sini biar kamu mimpi buruk, gitu?”
“ya enggak lah putri manis”
“trus kenapa telpon aku”
“ya pengen ngasi tahu aja kalau aku barusan mimpi buruk”
“trus apa hubungannya sama aku?”
“ya gak ada, aku cuma pengen ngasi tahu kamu kalau aku tadi mimpi buruk”
“trus kalau aku sudah tahu”
“ya udah,makasi ya”
Tut,, tut,, tut,,  telphonnya ditutup
Dasar cowok kurang kerjaan. Yah. Memang begitu mungkin Aby, selalu punya hal-hal yang tak pernah aku pikirkan, tak pernah kubayangkan.

***

“cepat By, bawa barang-barangmu dan kita akan segera berangkat, kan kamu sendiri kemarin yang menantang ku”
“iya sabar ini juga sudah jalan”
“kalau tidak salah perhitungan, kita berangkat sepagi ini mungkin sebelum siang kita sudah bisa sampai dibukit kebiruan itu dan mungkin kita bisa segera turun sebelum larut malam”
“siap nona manis”

Benar memang jika bukit ini belum dijamah orang sama sekali, tak ada jalan setapak yang sudah terbentuk, pohon begitu menjulang tinggi dan lumut menyelimuti bagian pohon yang tak tersinari mahatari. Tumbuhan pakis dan ilalang liar begitu subur, tak hanya tumbuhan, hewan-hewan pun sepertinya terkejut dengan kedatangan kami. Kami membuat jalan setapak sendiri yang memang akan langsung hilang ketika kita sudah melewatinya karena tumbuhan pakis begitu lebat menyelimuti. Udara yang terhirup juga terasa lembab serasa kita bernafas dengan air yang untungnya karena kemurnian hutan sehingga terasa begitu segar dipernapasan.
Perjalanan mendaki selalu memberikan pengalaman yang tak pernah ku tahu artinya, serasa ada yang tertambah dalam nuraniku ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan sekedar kata, senyum, atau bahasa tubuh. Sesuatu itu begitu tersembunyi tapi begitu mudah dirasakan dengan hanya pada diri sendiri.

“akhirnya kita bisa sampai di bukit ini ya nona manis”
“iya, cukup lumayan medannya”
“apa aku bilang, kamu nggak bakalan nyesel aku ajak kemari”
“terserah kamu aja”
“tetap indah ya? Kalau kemarin kita duduk di sana dan melihat bukit ini sekarang berbalik, kita duduk di sini dan melihat bukit itu”
“sama indahnya”
“iya tapi rasanya beda kan”
“apanya yang beda”
“kan kalau kita duduk di sana yang kita lihat bukit kebiruan ini, kalau kita duduk di sini yang kita lihat bukit yang sudah terawat itu”
“iya”
“lalu kenapa bukit ini terlihat biru ya kalau kita lihat dari sana?”
“kamu nggak lihat rumput bunga di sekitarmu?”
“oh iya, bunga-bunganya memang berwarna biru, istimewa sekali”
“satu jam lagi kita turun ya, biar nggak kemaleman”
“ok, nona manis”
**
Sepanjang perjalanan menuruni bukit aku terus memimpin penurunan bukit ini, entah kenapa dia selalu ingin berada di belakangku, ingin menjaga ku katanya, entahlah.
Perjalanan turun tak sebegitu sulit ketika kami mendaki karena tak begitu menguras tenaga hanya butuh keseimbangan yang tepat agar ketika menuruni jalan yang lincin tak tergelincir oleh lumpur yang menjadi tempat berpijak. Sepanjang perjalanan aku terus mengobrolkan hal-hal apa saja yang bisa kami perbincangkan terkadang aku menoleh kebelakang ketika dia tak menanggapi perkataanku, dia hanya membalas dengan senyuman.
Perjalanan turun kali ini sepertinya kami harus melewati jurang kecil tak ada jembatan karena sudah seperti yang ku bilang kalau bukit ini memang belum terjamah, arus yang mengalir cukup deras dan ini mungkin tantangan yang harus kami lewati dengan sangat hati-hati.
“kamu sanggup kan melewati tantangan ini?”
“ya sanggup lah nona manis, apa perlu kamu kugendong”
“kurang kerjaan”
Sedikit demi sedikit kami mencoba melewati jurang itu.
“akhirnya kita bisa melewati jurang itu ya” kata ku
Perjalanan terus berlanjut dan aku terus saja mengomel menceritakan hal-hal menarik yang sering aku alami ketika aku mendaki, seperti tiada habis untuk ku ceritakan karena bagiku bukit-bukit yang ku daki tak pernah berkata jujur mereka selalu mempunyai rahasia yang mereka ingin orang mencari tahu apa rahasia itu tapi mereka tak begitu mudah memberikan jawaban.
Sudah sampai di kaki bukit dan lampu-lampu jalan sudah mulai terlihat dekat, aku menoleh
Tak ada siapa pun dibelakangku hanya kosong dalam keremangan sang senja yang sudah mulai merayap
“By dimana kamu? Jangan bercanda”
Tak ada jawaban
“By, jangan membuat aku takut, Aby ayo rumah sudah dekat, kamu dimana?”
Tak ada apa pun, tak ada seorang pun selain diriku
Aku berlari kembali kejalan yang tadi aku lalui, sudah berapa lama aku tak menoleh semenjak menyeberangi jurang, kenapa aku tak menggandeng tanggannya ketika menyeberangi jurang tadi kenapa aku tak menariknya keatas ketika dia menyeberangi jurang kenapa aku hanya terus bercerita tanpa henti dengan semau ku
“Aby, kamu dimana”
Tak ada jawaban sampai petang menyelimuti ku.