Di Kaki Bukit Biru
Oleh: Ninis
Sofie
Tidak seperti biasanya, jika aku dan dia sudah terbiasa bersama dengan
kebersamaan yang bisa dikatakan tak terpisahkan, tapi sekarang menjadi sepi
dunia seakan tak akan lagi bersama karena memang aku sudah sendiri. Di sini
hanya ada aku, udara yang ku hirup hampir sulit kurasakan, angin bahkan tidak
ada, embun yang menetes seperti memberikan perih dalam sayat luka. Melamun
bukan hal yang biasa aku lakukan ketika aku bersamanya. Suara-suara kendaraan
bagai lagu kematian yang menyuarakan tangis dan kicauan burung tak sanggup
menghentikannya. Begitulah kiranya diriku tanpa dirinya.
***
Tit,, tit,,tit,,tit,, tit,,
Handphoneku
berbunyi
“halo”
“halo manis,
kita ketemu di tempat biasa ya”
“ok By”
Bukan
siapa-siapa aku dan Aby adalah teman, yah,, mungkin memang hanya teman. Mungkin
saja.
Tempat biasa
sudah menunggu, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk membicarakan segala hal
yang ingin kau bicarakan bersama seseorang. Pohon yang rindang dengan kursi
kayu di bawahnya. Ada banyak pohon, disebarang sana ada pohon dengan ayunan
menggantung. Kami biasanya lebih memilih di sini, bukan karena ada kursi malah
kami lebih sering duduk di rumput menikmati segarnya udara dibawah pohon yang
begitu rindang dengan pemandangan gunung yang masih hijau kau bisa bayangkan
betapa segar udara disini. Begitu memberi ketenangan bagi pikiran yang butuh
ketenangan.
Aby tiba-tiba
datang dan menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang
“Aby,
kebiasaanmu gak pernah berubah ya!”
“kamu kok tahu
kalau aku”
“ya tahu lah”
“kan bisa saja
orang lain yang melakukannya, di sini kan tempat umum jadi bukan hanya aku yang
berada di sini, yah memang sih di sini terlihat sepi meskipun tempat umum, tapi
itu malah membuat untung” kata Aby sambil tersenyum menggoda
“kenapa
begitu, jangan ngeres otakmu”
“ye,, siapa
yang ngeres, otakmu itu yang perlu dicuci”
“kenapa harus
otakku”
“lha kamu
pikirannya ngeres aja, maksudku memberi untung tadi itu, kan kalau masih sepi
berarti alamnya masih alami, gak ada yang mengotori, masih segar, gitu
maksudku”
“alah,, kamu
cuma mengalihkan pikiran ngeresmu saja”
“ya sudah
terserah si nona manis ini deh”
“tu kan mulai
ngrayu kan”
“sudah lah aku
pengen ketemu kamu bukan mau ngrayu kamu, dikira kurang kerjaan apa aku?”
“trus mau apa”
“gini nona
manis, kamu tahu apa yang sedang terjadi dengan bukit di depan sana yang kita
lihat dari sini sepertinya berwarna kebiruan?”
“kenapa
emangnya, ada yang salah dengan warna itu?”
“kamu tahu kenapa?”
“aduh,, sudah jangan berbelit-belit langsung ketopik pembicaraanmu saja”
“kamu tahu kenapa?”
“aduh,, sudah jangan berbelit-belit langsung ketopik pembicaraanmu saja”
“dengerin dulu
tuan putri nona manis”
“jangan lebay
kamu”
“ok,, ok ,,
gini kita kan selalu berada disini ketika diskusi apa pun , tentang aku,
tentang kamu, tentang teman-teman kita, tentang apa saja yang ingin kita
bicarakan, dan kita selalu memandang bukit itu kan, warna kebiruaanya memang
menakjubkan kita seperti bisa melihat laut diatas bukit dengan ranting-ranting
sebagai ikan terinya dan dedaunan sebagai terumbu karang.”
“maksudmu kamu
ingan memindahkan bukit itu supaya kita dapat pemandangan baru gitu”
“pikiranmu aneh
amat sih nona manis, ya mana bisa aku, gila apa, maksudku itu kebalikannya”
“kebalikannya?,,
maksudnya kamu ingin memindahkan bukit yang kita duduki ini ketempat lain
supaya ada pemandangan baru, gitu?”
“aduh,,,
aduh,, apa sih yang ada diotakmu ini, ya enggak lah manis, maksudku
kebalikannya itu kita berada disana dan melihat kesini”
“kita naik
kebukit kebiruan itu dan duduk memandang bukit yang sekarang kita duduki ini?”
“pinter juga
nona manis ini ternyata”
“aby,
berhentilah memanggilku nona manis”
“baiklah tuan
putri nona manis”
“terserah kamu saja lah”
“terserah kamu saja lah”
“lalu
bagaimana”
“apanya”
“naik kebukit
sana”
“gila ya itu
kan bukan tempat pendakian, jangan samakan dengan disini, kalau disini naik
motor, naik mobil jalan kaki bentar kita sudah sampai dipuncaknya, karena
memang sudah tempat umum, lah kalau disana? Bahaya tahu gak sih”
“aku sudah
pernah coba”
“gak percaya,
kamu naik bukit ini saja sudah ngos-ngosan apa lagi mendaki bukit kebiruan itu,
kalau kamu mati disana siapa yang mau bawa mayat kamu, aku? Ogah lah”
“ya sudah aku
pergi sendiri lagi”
“silakan”
“kok gitu”
“kita lihat
besok saja, aku pikir-pikir dulu, ok Aby yang cerewet?”
“baiklah, aku
jamin kamu bakalan berangkat kok”
“sok tahu”
Duduk di teras
dengan memegang buku, aku tak bisa membacanya bukan karena aku tak bisa membaca
tapi masih berpikir sesuatu. Ada alasan kenapa aku harus berpikir terlebih dahulu
sebelum mendaki bukit kebiruan itu. Bukan karena aku takut, bukan karena aku
sibuk aku sudah banyak mendaki bukit, mendaki gunung berapi sudah banyak yang
aku daki, tapi untuk Aby dia terkadang terlihat berpura-pura dengan
keinginannya untuk mendaki, sepertinya ia tahu aku suka mendaki, lalu dia
pura-pura sudah mendaki banyak gunung dan selalu mengajakku mendaki gunung yang
belum jadi pendakian. Aku memikirkannya, karena dia belum terbiasa dengan
kehidupan pendakian, belum cukup pengalaman untuk mendaki bukit kebiruan itu
yang nyatanya masih belum pernah dijamah orang. Iya, aku tertanya memikirkan Aby,
memikirkan orang yang selama ini tak jelas apa yang ia lakukan ketika
bersamaku.
Tit,,
tit,,tit,,tit,, tit,,
Handphoneku
sepertinya berbunyi
Dari Aby
“halo”
“nona manis,
aku barusan tertidur di teras, trus aku mimpi buruk”
“trus kenapa
kamu bilang ke aku, kamu kira aku nyihir kamu dari sini biar kamu mimpi buruk,
gitu?”
“ya enggak lah putri manis”
“ya enggak lah putri manis”
“trus kenapa
telpon aku”
“ya pengen
ngasi tahu aja kalau aku barusan mimpi buruk”
“trus apa
hubungannya sama aku?”
“ya gak ada, aku cuma pengen ngasi tahu kamu kalau aku tadi mimpi buruk”
“ya gak ada, aku cuma pengen ngasi tahu kamu kalau aku tadi mimpi buruk”
“trus kalau
aku sudah tahu”
“ya
udah,makasi ya”
Tut,, tut,,
tut,, telphonnya ditutup
Dasar cowok
kurang kerjaan. Yah. Memang begitu mungkin Aby, selalu punya hal-hal yang tak
pernah aku pikirkan, tak pernah kubayangkan.
***
“cepat By,
bawa barang-barangmu dan kita akan segera berangkat, kan kamu sendiri kemarin
yang menantang ku”
“iya sabar ini
juga sudah jalan”
“kalau tidak
salah perhitungan, kita berangkat sepagi ini mungkin sebelum siang kita sudah
bisa sampai dibukit kebiruan itu dan mungkin kita bisa segera turun sebelum
larut malam”
“siap nona
manis”
Benar memang
jika bukit ini belum dijamah orang sama sekali, tak ada jalan setapak yang
sudah terbentuk, pohon begitu menjulang tinggi dan lumut menyelimuti bagian
pohon yang tak tersinari mahatari. Tumbuhan pakis dan ilalang liar begitu
subur, tak hanya tumbuhan, hewan-hewan pun sepertinya terkejut dengan
kedatangan kami. Kami membuat jalan setapak sendiri yang memang akan langsung
hilang ketika kita sudah melewatinya karena tumbuhan pakis begitu lebat
menyelimuti. Udara yang terhirup juga terasa lembab serasa kita bernafas dengan
air yang untungnya karena kemurnian hutan sehingga terasa begitu segar
dipernapasan.
Perjalanan
mendaki selalu memberikan pengalaman yang tak pernah ku tahu artinya, serasa
ada yang tertambah dalam nuraniku ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan
sekedar kata, senyum, atau bahasa tubuh. Sesuatu itu begitu tersembunyi tapi
begitu mudah dirasakan dengan hanya pada diri sendiri.
“akhirnya kita bisa sampai di bukit ini ya nona manis”
“iya, cukup lumayan medannya”
“apa aku bilang, kamu nggak bakalan nyesel aku ajak kemari”
“terserah kamu aja”
“tetap indah ya? Kalau kemarin kita duduk di sana dan melihat bukit ini
sekarang berbalik, kita duduk di sini dan melihat bukit itu”
“sama indahnya”
“iya tapi rasanya beda kan”
“apanya yang beda”
“kan kalau kita duduk di sana yang kita lihat bukit kebiruan ini, kalau
kita duduk di sini yang kita lihat bukit yang sudah terawat itu”
“iya”
“lalu kenapa bukit ini terlihat biru ya kalau kita lihat dari sana?”
“kamu nggak lihat rumput bunga di sekitarmu?”
“oh iya, bunga-bunganya memang berwarna biru, istimewa sekali”
“satu jam lagi kita turun ya, biar nggak kemaleman”
“ok, nona manis”
**
Sepanjang perjalanan menuruni bukit aku terus memimpin penurunan bukit ini,
entah kenapa dia selalu ingin berada di belakangku, ingin menjaga ku katanya,
entahlah.
Perjalanan turun tak sebegitu sulit ketika kami mendaki karena tak begitu
menguras tenaga hanya butuh keseimbangan yang tepat agar ketika menuruni jalan
yang lincin tak tergelincir oleh lumpur yang menjadi tempat berpijak. Sepanjang
perjalanan aku terus mengobrolkan hal-hal apa saja yang bisa kami perbincangkan
terkadang aku menoleh kebelakang ketika dia tak menanggapi perkataanku, dia
hanya membalas dengan senyuman.
Perjalanan turun kali ini sepertinya kami harus melewati jurang kecil tak
ada jembatan karena sudah seperti yang ku bilang kalau bukit ini memang belum
terjamah, arus yang mengalir cukup deras dan ini mungkin tantangan yang harus
kami lewati dengan sangat hati-hati.
“kamu sanggup kan melewati tantangan ini?”
“ya sanggup lah nona manis, apa perlu kamu kugendong”
“kurang kerjaan”
Sedikit demi sedikit kami mencoba melewati jurang itu.
“akhirnya kita bisa melewati jurang itu ya” kata ku
Perjalanan terus berlanjut dan aku terus saja mengomel menceritakan hal-hal
menarik yang sering aku alami ketika aku mendaki, seperti tiada habis untuk ku
ceritakan karena bagiku bukit-bukit yang ku daki tak pernah berkata jujur
mereka selalu mempunyai rahasia yang mereka ingin orang mencari tahu apa
rahasia itu tapi mereka tak begitu mudah memberikan jawaban.
Sudah sampai di kaki bukit dan lampu-lampu jalan sudah mulai terlihat
dekat, aku menoleh
Tak ada siapa pun dibelakangku hanya kosong dalam keremangan sang senja
yang sudah mulai merayap
“By dimana kamu? Jangan bercanda”
Tak ada jawaban
“By, jangan membuat aku takut, Aby ayo rumah sudah dekat, kamu dimana?”
Tak ada apa pun, tak ada seorang pun selain diriku
Aku berlari kembali kejalan yang tadi aku lalui, sudah berapa lama aku tak
menoleh semenjak menyeberangi jurang, kenapa aku tak menggandeng tanggannya
ketika menyeberangi jurang tadi kenapa aku tak menariknya keatas ketika dia
menyeberangi jurang kenapa aku hanya terus bercerita tanpa henti dengan semau
ku
“Aby, kamu dimana”
“Aby, kamu dimana”
Tak ada jawaban sampai petang menyelimuti ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar