Translate

Rabu, 24 April 2013

esai cerpen


KETIDAKADILAN YANG BERBALUT SENYUM
dari Karyamin oleh Ahmad Tohari

Oleh: Ninis Sofie

Cerita yang mewakili sebuah kehidupan seperti itulah kiranya ketika kita membaca cerita Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Banyak pengarang yang menampilkan kehidupan sehari-hari dalam karya sastranya. Baik itu diungkapkan dengan apa adanya dengan kesederhanaan yang tercipta dari peristiwa yang ada, atau mungkin diungkapkan dengan penuh dramatis yang sangat memilukan hati. Cerita pendek adalah cerita yang selesai dibaca dalam satu kali duduku. Namun tidak demikian  dengan Senyum Karyamin, ketika dibaca sekilas ini adalah cerita sederhana yang terjadi dilingkungan kita dan hanya sekedar menjadi penglihatan tanpa ada hal yang dilakukan setelah kita melihatnya. Di sini ahmad Tohari memberikan hal lain dari sebuah peristiwa yang sangat sederhana.
Pada awal cerita telah diketahui bahwa peran utama dalam cerpen ini ialah seseorang yang bernama Karyamin. Karyamin yang memiliki pekerjaan sebagai pengangkut batu kali, dalam cerpen ini diceritakan dalam satu waktu tapi dapat diketahui bagaimana kehidupan seorang Karyamin. Disamping menceritakan tentang Karyamin, dalam cerpen ini juga dideskripsikan sesuatu yang berada disekitarnya yaitu tempat, situasi, dan waktu dengan sangat detail, sehingga pembaca yang membaca dapat mengimajinasikannya, tanpa keluar dari cerita. Misalnya pendeksripsian pada keadaan ketika Karyamin mengangkut batu dari keranjang kemudian terjatuh, atau ketika mendeskripsikan keadaan Karyamin.
“Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya uncul menyembul kulit” 
Dalam cerpen ini Karyamin sedikit memusatkan perhatiannya oleh sebuah burung paruh udang yang terbang disekitarnya. Mungkin pikirnya burung tersebut agak mengesalkan karena telah membuatnya jatuh, tapi kemudian rasa kesalnya luntur saat si burung ini mencoba menangkap seekor ikan dari danau. Lebih jauh Karyamin memikirkan tentang si burung ini, bahwa sama dengan dirinya burung ini tengah mencari makan untuk anak-anaknya. Menurut saya, pengarang menghadirkan burung paruh udang ini untuk mencitrakan diri seorang Karyamin lebih jauh, di sini Karyamin memang terlihat cukup perhatian dengan seekor burung, dan mungkin Karyamin terlalu pemikir.
“mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.” 
Berdasar kutipan tersebut ada kalimat yang cukup menarik, yaitu Karyamin merasa iri hati. Karyamin seolah-olah ingin menjadi seperti burung paruh udang tersebut yang dengan menggunakan sayap dan paruhnya untuk membawa makanan ke tempat tinggalnya, hanya terbang dan menangkap ikan kemudian pulang ke sarangnya dan menikmati makanan bersama anak-anaknya. Sementara Karyamin susah payah merauk batu yang tidak memiliki banyak untung belum tentu mendapat uang, apalagi untuk makan anak-isterinya.
Jika dilihat lebih detail mengenai burung si paruh udang yang berwarna biru mengkilap, berdada putih, dan berparuh merah. Lihatlah lebih dekat, ada warna merah, putih, biru yang merupakan warna dari sebuah bendera yang telah menjajah negara Indonesia selaman 3,5 abad. Pengarang ingin menyampaikan bahwa sampai saat ini kita masih mengalami penjajahan bukan penjajahan atas perebutan kekuasaan seperti pada zaman dahulu kala tapi penjajahan atas kelaparan yang tak pernah habis kehadirannya. Kelaparan yang terjadi di depan mata sementara orang lain dengan begitu mudah membuah makanan yang tidak habis dimakan. Hal inilah yang mungkin mengakibatkan muncul pepatah ‘kalau orang miskin berkata hari ini makan apa tapi kalau orang kaya berkata hari ini makan siapa’.
Cerpen yang berjudul Senyum Karyamin di sini rupanya memang penekanan khusus pada senyum si tokoh Karyamin, seorang pengumpul batu. Mungkin diawal-awal ada anggapan bahwa cerita ini akan berjalan ceria dan ringan karena kata “senyum” merupakan kata positif, memang benar positif tapi setelah membaca cerita ini dapat dilihat Karyamin selalu membawa sebuah senyuman untuk sedikit meringankan hidupnya yang ‘berat’.
“Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakkan. Pagi itu Senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.” 
Pengumpul batu saja dapat tertawa bergembira dalam pekerjaannya yang berat, yang merasakan lapar teramat sangat setelah beberapa hari tidak makan karena batunya yang tidak terjual dan juga kerjanya yang sangat membuat lelah setiap hari, apalagi saya yang hanya membacanya saja. Senyum selain merupakan ibadah yang paling murah, juga dapat membuat hidup tidak terlalu berat karena banyak sekali manusia yang selalu mencemaskan hidup hingga tidak melihat sekitar dan selalu murung. Kembali pada cerita ini, dalam keadaan lapar dan kunang-kunang pun Karyamin tetap tersenyum, ia tidak mau menambahkan beban pada dirinya dan juga pada Saidah yang selalu dihutanginya dan teman-temannya.
 ”Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang berhasil didorongnya ke dalam.” 
Karyamin berwatak sangat peduli menurut saya lewat kutipan tersebut. Setelahnya Karyamin berjalan pulang tanpa alasan, mungkin juga karena sudah jadi takdir pengarang sehingga Karyamin akhirnya pulang dengan alasan menemui istrinya. Sebelumnya, pada awal cerita dikisahkan pula tentang isteri Karyamin yang sering didatangi oleh beberapa pria dengan alasan klise, entah itu benar atau tidak karena hanya anggapan teman-teman Karyamin.
         ”Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.” 
Walaupun tidak diceritakan oleh pengarang tentang watak dari istri Karyamin, sepertinya Karyamin cukup beruntung memiliki istri yang menjadi perhatian oleh beberapa orang. Meski berbahaya, setidaknya Karyamin yang seorang tukang angkut batu itu memiliki istri yang sampai temannya saja iri padanya. Di akhir kisah, Karyamin yang hendak kembali kerja karena tidak tahu apa gunanya untuk pulang dicegat oleh Pak Pamong. Ia bermaksud meminta sumbangan pada Karyamin, tapi ia mengira bahwa Karyamin menghindarinya.
         “Di gerembul ini hanya kamu yang belum berpartisiasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”
Kemudian Karyamin tersenyum dan Pak Pamong merasa tersindir. Karyamin justru tertawa sekerasnya, ia sempoyongan, dan akhirnya jatuh ke lembah. Senyum Karyamin yang terakhir itu memiliki makna. Yaitu untuk makan sehari-harinya saja bagi Karyamin belum tentu bisa, jelas di cerita ini juga digambarkan bagaimana Karyamin matanya kunang-kunang, telinganya bising, perutnya bunyi karena lapar. Dengan keadaan yang demikian, ditambah ada seseorang yang menagih uang padanya pastikan mengundang emosi. Bila dipikir, apa juga yang dapat ia beri untuk menolong orang-orang kelaparan itu padahal Karyamin juga termasuk orang-orang kelaparan.
Sedikit saat kita bisa mencurigai bagaimana cara pengarang memasukkan identitas dirinya ke dalam cerpen adalah ketika melihat kutipan berikut
“maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.”
Mungkinkah pernah muncul pertanyaan mengapa harus ada kopiah di sana. Jika dilihat dari latar belakang pengarang yang seorang islami mungkin di sini lah pengarang ingin memerankan sedikit dirinya terhadap cerita yang ia tuliskan bahwa kopiah adalah salah satu ciri yang memungkinkan untuk menggambarkan islami dari pengarang. Pengarang mungkin ingin tetap memunculkan identitas dirinya untuk tetap hadir dalam cerita.
Ada sedikit kalimat yang diulang dalam cerpen ini yaitu “... dengan cara menertawakan diri mereka sendiri”. Pesan yang sangat dalam yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca sehingga pengarang mengulang kata-kata tersebut sampai tiga kali. Pesan yang dimaksud ialah bahwa dengan menertawakan diri mereka sendiri itu merupakan satu-satunya hal yang bisa dilakukan secara bebas ditengah kesengsaraan yang sedang dialami. Kesengsaraan orang-orang kecil (pekerja kali) sementara para wakil rakyat yang seharusnya bisa memfasilitasi rakyat malah bersenang-senang dengan kesenangannya. “menertawakan diri sendiri” (menertawakan ketidakadilan yang tidak bisa diadilkan).
Cerpen Senyum Karyamin ini lebih menekankan pada senyuman Karyamin yang terakhir, di mana ketidakadilan terjadi padanya yang segelintir dari masyarakat miskin. Ketidakadilan sang tengkulak yang menggelapkan uang untuk Karyamin ataupun pemanggul batu lainnya juga ketidakadilan saat menagih uang pada Karyamin, padahal ia juga kelaparan. Ia hanya dapat tersenyum menerima nasibnya.


SENYUM KARYAMIN SENYUM YANG SEBENARNYA ATAU HARAPAN PALSU
sekilas orang akan melihat saat-saat




Senin, 22 April 2013

ORANG-ORANG KALI


ORANG-ORANG KALI
Oleh: Ninis Sofie

Tokoh-Tokoh
1.    Suro         : Kuli batu (tertua)
2.    Inem         : Istri Suro
3.    Budi          : Anak laki-laki Suro dan Inem (kuli batu termuda)
4.    Parjo         : Kuli batu (tertua nomer dua seteleh Suro)
5.    Gito           : Kuli batu (tertua nomer tiga setelah Parjo)
6.    Karlina      : Pemilik warung makan (ibu-ibu setengah baya)

              Setting di warung, warung tersebut merupakan warung tempat berkumpul orang-orang pekerja kali

Parjo      : “Piye iki kang, utang kok tambah numpuk ae, kerjo gak bayaran-bayaran?”
Suro       : “yo piye neh, awak dewe iki wong cilik, isone yo mung ngersulo koyo ngene iki”
Parjo      : “iyo kang saumpama awak dewe protes yo protes neng sopo”
Karlina   : “yo protes nang seng tuku watu-watu seng kok usungi iku kang”
Parjo      : “maksudmu tengkulak iku a?”
Suro       : “ojo ngunu to, yo mbok disebut jenenge, pak riman to maksute”
Parjo      : “yo iyo kang lha kate sopo neh, seng nggarai awak dewe iki rekosone naudubillah”
Suro       : “Urip iki yo ngunu kuwi le, seng sabar dadi manungso”
Parjo      : “iyo kang samean iki yo kok betah kerjo koyok ngene iki, mulai mbiyen sampek wes sepuh ngene iki”
Suro       : “hemmmm,,,”
Karlina   : “lha podo nang ndi kabeh kang bolo-bolo riko”
Parjo      : “yo mboh Kar,, Kar,, iki wes awan koyok ngene kok yo sek sepi”
Karlina   : “yo wes,, leyeh-leyeh kene sek wes, po perlu tak imbuhne sego”
Suro       : “ra usah Kar,, utang ku wes numpuk neng koe, lek koe tak utangi terus bangkrut koe suwe-suwe”
Parjo      : “iyo Kar, koe pisan iki yo kok sek betah dodolan nek kene, mek gur diutangi tok neng wong-wong kali-an iki”
Karilina  : “kang,, kang,, yo kate dodolan nang ndi neh, kate neng kuto yo tambah susah, durung mesti iso sukses, wes manut koyok seng diomongne kang Suro kuwi, nrimo, yo gur nrimo”

(Gito muncul dengan wajah kecewa)

Gito        : “waduhhh,,, waduuuhhh,,, kannggg,,,”
Parjo      : “opo maneh Gito iki”
Suro       : “opo o To,, teko-teko koe kok katon putus asa ngunu kuwi?”
Gito        : “kate gak putus asa piye kang, aku wes masang telong nomer ra enek seng tembus”
Karlina   : “togel iku openono, bojomu kuwi lho blanjanono kok togeeeellll ae”
Gito        : “wes to Kar, lek nomerku tembus utangku bakal tak lunasi kabeh, koe bakal tak weneh i persen pisan”
Karlina   : “iyo,, tapi kapan?”
Suro       : “lha iku??”
Parjo      : “hahahahha”
Gito        : “gaekne kopi aku Kar, gak usah gulo wes”
Karlina   : “seng gena kang”
Gito        : “iyo wes atiku kecut ngene iki”
Suro       : “wes turutono wae Kar, ketimbang muring-muring terus Gito iku”
Karlina   : “lha anak riko nang ndi kang Suro kok durung muncul”
Suro       : “yo mboh ta, mau aku budal arek e sek turu”
Gito        : “sak no,,, sak no, gak bapak gak anak nasipe yo kok podo ae,, ngusungi watu ae”
Parjo      : “hahahhaha, ojo dianggep serius kang, ki guyon ae”
Suro       : “iyo aku wes paham lek ngunu kuwi”
Karlina   : “lha arek e gak kok sekolahne to kang”
Suro       : “ora gelem,, wes tak jak daftar sekolah neng esempe kecamatan malah arek e kabur muleh, tak takok i jarene gak gelem sekolah kepingine melu aku nang kali-an ae usung-usung watu”
Karlina   : “o alah kang-kang yo kok ngunu kuwi arek iku”
Suro       : “yo wes Kar, aku tak budal disek, watu-watu iku wes podo ngenteni diusungi”
Gito        : “sek kene opo o kang, ngopi-ngopi sek”
Suro       : “uwes to, ayo kabeh yo”
Parjo      : “iyo kang marine tak susul”
                                                            (Suro keluar panggung)
Karlina   : “kang Suro,,, kang Suro,,, “
Gito        : “opo o Kar”
Karlina   : “mulai kaet teko neng kene mau ora mangan opo-opo blas, yo mung ngrokok
                  ngglintir dewe iku tok nggowo bako teko umah e”
Parjo      : “lha mau tak kon njupuk gorengan ora gelem”
Gito        : “wes jar no wong tuwo yo ngunu kuwi, eh koe wes krungu kabare Minah a?”
Parjo      : “Minah sopo kang?”
Gito        : “Minah anak e kang Urip iku lho”
Karlina   : “seng dadi tkw nang malaysia iku to kang?”
Gito        : “iyo sopo neh, eling kan?”
Parjo      : “yo wes eling aku , opo o karo Minah”
Gito        : “jarene dirabi Karo juragane neng malaysia kono”
Karlina   : “wah yo enak to kang,, iso dadi wong sugih pisan”
Gito        : “ngawur koe”
Karlina   : “lhoh ngawur piye to kang, lak bener to, dirabi juragane kan berarti juragane sugih terus Minah yo sugih pisan”
Parjo      : “lak iyo se kang, bener to seng diomongne Karlina kuwi”
Gito        : “ojo kesusu,, ojo kesusu disek to, aku cerito durung mari iki”
Parjo      : “yo wes ndang marikne ceritomu kang”
Gito        : “iki mumpung ra enek kang Suro pisan koe tak critani, mbiyen iku Minah jane arep dirabekne karo anak e kang Suro, Budi iku, tapi mergo sek podo cilik e nang wong tuwone Minah durung oleh lha trus sak wene ngenteni Budi ngumpulne bondo, Minah yo kepingin ngumpulne bondo pisan gae rabi”
Karlina   : “mangkane Minah dadi tkw neng malaysia ngunu to kang”
Gito        : “iyo, sek tala ojo dipedot omonganku, mau bengi iku aku krungu jarene kang Suro nang umae kang Urip arep nakokne Minah, eh lakok kang Urip jawape jare Minah wes rabi nang malaysia kono”
Karlina   : “mangkane mau kang Suro ora gelem mangan opo-opo blas, terusne kang ceritone”
Gito        : “cerito terusane iku ...”

(Budi anak Suro tiba-tiba muncul sehingga Gito terkaget dan menghentikan ceritanya)

Budi       : “assalamualaikum kang,, yu,,”
Karlina   : “eh koe le, wes mangan le”
Budi       : “wes yu neng umah mau, kok sek podo neng kene iki, mau koyok e kang Gito arep cerito, aku yo pengen ngerti kang”
Gito        : “ora cerito opo-opo, ndang nyusul bapakmu kae lho wes usung-usung watu kaet mau koe iki tangine awan”
Budi       : “mosok bapak wes kaet mau kang, lha iki kang Parjo sek neng kene biasane kang bareng riko kang”
Parjo      : “iyo le tapi iki mau aku sek aras-arasen yo trus bapakmu nang kali disek”
Budi       : “o alah ngunu to”
Karlina   : “ngopi a le?”
Budi       : “ora yu uwes mau neng umah, yo wes aku tak langsung nyusul bapak ae”

(Budi keluar panggung)

Karlina   : “age kang terusne ceritone sampean”
Gito        : “uwes Kar koe engko bakalan krungu dewe”
Parjo      : “lha koe lho ngerti teko ndi cerito ngunu kuwi”
Gito        : “ngerti teko ...”
Karlina   : “waduh,,, waduh,,,kang,,,”
Gito        : “opo ae to Kar, mben ate omong kok mesti kok pedot”
Karlina   : “hehehe kang, aku lali enek seng Kari nang umah mau, kopine neng kene iki wes entek aku mau ate nggowo eh lali, sek kang tak jupuk e tunggonono warung ku dilut yo kang”
Parjo      : “yo wes ndang dijupuk kono”

(Karilina keluar pannggung lalu ada istri Suro lewat)

Parjo      : “arep nang ndi yu?”
Inem      : “arep nyusul kang Suro”
Gito        : “lha enek opo kok disusul, awan-awan yo mosok arep di ajak kelon yu”
Parjo      : “hahhaha, ojo tersinggung Nem koyok ndak ngerti Gito ae lek kadung guyon”
Inem      : “iyo kang,,”
Parjo      : “lha arep enek opo to”
Inem      : “enek tamu kang”
Parjo      : “kang Suro wes budal disek an mau, susulen neng kali kono karo Budi kok mau”
Inem      : “yo wes kang suwun”

(Inem keluar panggung)

Gito        : “koe ngerti sopo tamune?”
Parjo      : “yo ora ngerti to, koe iki piye  to To”
Gito        : “aku ngerti”
Parjo      : “halah kayal a, lawong koe ono neng kene kaet mau karo aku kate ngerti teko ndi”
Gito        : “tamune iku kang Urip”

(Karlina muncul tiba-tiba)

Karlina   : “kang,, kang,,,”
Gito        : “hemmm,, aku kate ngomong mesti dipedot Karlina”
Parjo      : “opo o koe kok koyok wong gupug ngunu, ngos-ngosan”
Karlina   : “kang Urip ono neng umae kang Suro”
Gito        : “lehh,, bener to opo jare aku”
Karlina   : “opo ne seng bener kang”
Gito        : “sektas iku Inem rene, arep nggolek i kang Suro arep dijak muleh jarene neng umah e enek tamu, terus aku ngomong nang kang Parjo lek tamune iku kang Urip, kang Parjo ora percoyo”
Parjo      : “iyo percoyo, wes kok malah ngurusi uripe uwong, aku tak ngurusi watu sek, wes to Kar titip warunge, awakmu wes teko dadi iso tak tinggal”
Karlina   : “iyo kang kesuwun yo”

(Parjo keluar panggung)

Karlina   : “riko ora budal pisan to kang”
Gito        : “yo wes aku tak budal pisan Kar,, utang sek yo kopine”
Karlina   : “iyo, ndang di bayar”
Gito        : “lek wes oleh duwit mesti langsung tak lunasi kabeh”

(Gito keluar panggung dan panggung menjadi gelap)
....
 (keesokan harinya)
              Karlina duduk didepan warungnya sambil bernyanyi-nyanyi lirih, ngenteni wong-wong budal nang kali ngusungi watu.

Karilina  : “o alah nasip,, nasip  yo kok ngene iki, duh gusti nyuwun pangapuro yen kulo nggada duso,,”

(Gito muncul tiba-tiba)

Gito        : “wes ojo ngersulo ae, ndang gaek ne aku kopi kono”
Karlina   : (kaget) “waduh,, kang-kang samean iki ngaget-ngageti ae”
Gito        : “lha koe ngersulo ae”
Karlina   : “ora ngersulo kang, mung gur sambat”
Gito        : “yo opo bedone”
Karlina   : “yo bedo to kang”
Gito        : “yo wes, wes ndang kopine”
Karlina   : “ora usah gulo neh a iki”
Gito        : “yo karo gulo to, seng manis ngunu lho Kar, koyo esemmu”
Karlina   : “kang Gito iki iso ae”

(Budi tiba-tiba muncul  dengan sedikit berlari menuju sungai)

Gito        : “onok opo Bud kok mlayu-mlayu”

(Budi tidak menjawab tapi bertambah kencang larinya)

Gito        : “arek saiki ngunu kuwi yu, ditakoni wong tuwo malah ngibrit koyok ulo ketok kodok”
Karlina   : “paleng mari diseneni kang Suro, lek gak ngunu yo diseneni yu Inem”
Gito        : “ojok-ojok arek iku nesu goro-goro saiki wes ngerti lek Minah rabi Karo juragane neng malaysia kono”
Karlina   : “yo gak ngerti maneh kang”
Gito        : “nang ndi wong-wong iki yo kok durung muncul, ra enek wong blas to Kar kaet mau”
Karlina   : “ora enek, yo sampean iki tok sik an”
Gito        : “lah nang ndi kang Suro karo kang Gito yo kok ra muncul, kang Giman, kang Lekso barang”
Karlina   : “paleng yo sek sarapan neng umah e kang”
Gito        : “iyo,, ra koyok aku ngene iki urip dewe mangan turu ra enek seng ngurusi”

(Parjo muncul)

Parjo      : “apane seng ra enek seng ngurusi kang?”
Gito        : “sampean panjang umur kang, sek tas tak rasani karo Karlina”
Parjo      : “urip yo kok rasan-rasan ae koe iku”
Gito        : “yo wes ngene iki”

(Suro muncul)

Karlina   : ”lho,, kang Suro kopi a kang”
Suro       : “ora Kar”
Parjo      : “yo lungguh-lungguh kene sek kang”

(Suro duduk)

Parjo      : ”sampean kok katon susah enek masalah to kang,, menowo sampean gelem cerito kang terus aku, Gito, Karo Kar menowo iso nulungi”
Suro       : “ora, ra enek opo-opo”
Karlina   : “aduuhh,,, kang,,, wetengku senep, aku arep nang kali sek yo, titip warung ku”
Gito        : “kok yo mben aku neng kene koe mesti titip warung Kar,, Kar”
Karlina   : “aduhh,, wes ndak kuat kang ki wes muntup,, muntup”
Parjo      : “yo ndang budal kono tak jagakne warunge”

(Karlina keluar panggung)

Gito        : “jare wingi kang Urip  neng umah e riko kang enek opo”
Parjo      : “husshhhh,,, koe iki melu urusane uwong ae”
Suro       : “hemmm ora opo-opo Jo,, Gito yo mek takon”
Gito        : “iku lho kang,, aku mung takon, perkoro kang Suro ora gelem njawab yo ora opo-opo, ora dadi masalah to”
Parjo      : “iyo tapi koe iku yo kok ngurus urusane uwong ae”
Gito        : “aku mung takon kang”
Suro       : “uwes,, uwes,, ra usah petentengan , kang Urip nang umah mergo enek perlune...”
Gito        : “Karo Budi ta kang”
Parjo      : “ngurus men se koe iki To”
Suro       : “ben’ ne Gito yo mung kepingin takon paleng”
Gito        : “iyo kang”
Suro       : “intine kang Urip nduwe perlu Karo aku, yo Karo Inem, yo Karo Budi pisan, ngunu”
Gito        : “perlu opo kang”
Parjo      : “wes,, To wes,, koe iki suwe-suwe ra kenek dikandani koe iki ra iso njogo perasaane wong tuwo blas, kang Suro iki wong tuwo, kudu di hormati, ora koyok koe seng sludar-sludur takon sembarangan nang kang Suro, iso ngormati wong tuwo opo ora koe iki, suwe-suwe tak dudul serok an krikil iki koe yo lek ra iso meneng koe iku yo kok ...”

(Karlina tiba-tiba muncul)

Karlina   : (dengan sangat kebingungan, gelisah, ngeri, nangis bercampur jadi satu) “kang,,, kang,,,,, aduh kang,, ciloko,, ciloko,,”
Parjo      : “enek opo to Kar teko-teko ngos-ngosan mlayu-mlayu”
Karlina   : “Budi kang,,, Budi”
Suro       : “opo o Budi?,, opo o?”
Karlina   : “Budi kang”
Suro       : “iyo opo o?”
Karlina   : “Budi kang,,, Budi...”
              (Suro langsung lari menuju sungai Karena merasakan hal yang tidak enak dari omongan Karlina)

Parjo      : “alon-alon opo o Budi”
Karlina   : “sikile ditaleni watu trus arek e mendelep neng njero banyu”

(Lampu padam, ada iringan lagu kematian)
              Keesokan harinya, di warung Karlina

Parjo      : “wes tembus a nomermu To?”
Gito        : “wingi iku jane meh tembus kang tapi gagal”
Karlina   : “iyo intine tetep gagal kang Gito,,, iyo to kang Suro?”
Suro       : “iyo”



SELESAI