JURNALIS JAWA DALAM PARIKSIT GOENAWAN MUHAMAD
Sebuah sajak ditulis
dengan berbagai alasan, terutama karena dengan sajak seseorang bisa mengungkapkan
sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya sekaligus juga menyembunyikan sesuatu
di dalamnya. Sajak adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, yang dalam
dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan
sesuatu. Menulis sajak merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus
menyenangkan bagi penulisnya sebab di situ terjadi pergolakan, pertentangan,
kerja keras intelektual, dan tentu saja bukan merupakan hal main-main.
Di dalam sajak akan
ditemukan kemuraman, ketegangan yang terus-menerus, kegelisahan yang tak
henti-henti, dan perjuangan yang sungguh berat. Menulis puisi dengan demikian
bukanlah kerja sembarangan, bukanlah pekerjaan yang sederhana sebab menulis
puisi adalah menciptakan “dunia”. Sebuah sajak adalah sebuah “dunia” tersendiri
yang merupakan hasil kreativitas penyair dengan segala kekuatan dan kerja
kerasnya yang tidak tanggung-tanggung.
Goenawan Mohamad (GM) merupakan orang Jawa yang masa kecil hingga
awal dewasanya tinggal di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata tidak
melupakan tanah budaya asalnya, bahkan demikian lekat dan terdapat jejak yang
dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam pilihan tema, tetapi yang terasa
dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang lembut menghanyutkan,
seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di satu sisi
nadanya adalah keriuhan kota-kota yang ingar dan menusuk. Perpaduan antara kelambanan,
kelembutan Jawa dengan keriuhan kota-kota besar adalah seperti yang terasa
dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad (GM). Kita bisa merasakan betapa kuat
suasana Jawa yang tenang dan kelembutannya pada potongan sajak ini.
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi.
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari.
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba.
Kudengar angin mendesak ke arah kita
(DiBeranda Ini
Angin tak Kedengaran Lagi: Goenawan Mohamad)
Tidak hanya suasana
yang ditampilkan oleh GM dalam
puisi-puisinya tapi tokoh-tokoh Jawa seperti Pariksit juga ia tulis
dalam judul yang sama dengan nama tokohnya. Sajak Pariksit adalah sajak
yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri Amarta Pariksit
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Kerajaan Kuru
dan cucu Arjuna, ayahnya adalah Abimanyu. Dalam kitab Adiparwa, akhir
riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga
Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana
Srenggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengalungkan
bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Samiti. Raja ini mati atas kutukan
Crenggi melalui tangan Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena
ayahnya (Dorna) terbunuh oleh pihak Pandawa dalam peperangan dengan Kurawa.
PARIKSIT
Pariksit
menunggu hari segera lewat.
Orang-orang pun menunggu batas waktu
kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman
kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang
disembunyikan di puncak menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke
tingkap. Angin bangkit.
..........I
.......Dari rahim waktu, aku tahu
kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga
menimpa
dinding menara, penjara dari segala
penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku
yang sendiri.
.......Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing.
.......Jauh di bawahku terpacak
rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan,
dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa,
sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang
punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan
duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi.
.......(Tapi siksa ini adalah siksa
mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas
kelemahan tangan-tanganku)
Kini kuhirup bau senja, bau
kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi
juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi,
teramat sunyi.
.......Seperti sunyi ini yang
menyilangkan kakinya
menantang padaku.
..........II
.......Menara penjara, dan
penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik
dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam
yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna
tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar
meninggalkanku
.......Kini telah kupilih, sebab
keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan
jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku,
hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
.......Dan telah kuhindari Maut,
mautku sendiri.
.......Barisan burung-burung yang
kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari
kotaku yang
sepi. Kota yang berbatas gurun, berbatas
rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang
melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga
melenguhkan hidup
bila tahun-tahun mengatupkan
pintu-pintunya.
.......Aku telah lama bernafas dari
kandungannya.
.......Telah lama.
Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?
..........III
.......Maka segeralah senja ini
penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan
kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi
abu.
.......Bukan kegelisahan dahsyat
yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang
menyuruhku.
Tapi kurindukan
kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.
.......Karena memang kutakutkan
selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari
tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup
sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang
menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang
jauh menyimak matahari, rimba dan
hewan-hewan meriah.
.......Seperti bila langit dan
titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu,
perempuan
dalam telanjang dini hari
.......Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.
..........IV
.......Wahai, adalah dia? (Berderak
tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang
menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
.......Jika saja aku selamat,
saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja
kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku,
hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke
nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak
dibebaskan.
.......Dan tak kukenal wajahku
kembali.
.......Di ruang ini, kunobatkan
ketakutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku:
begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam
seribu api!
Dan mati.
..........V
.......Demi matiku, kutunjukkan
padamu segala
Yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku,
dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah
diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya
pun terurai,
seperti musim bunga.
.......Dan di sana kulihat, juga kau
lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke
laut,
berbisik, seperti burung-burung yang
mencecah
dan degup demi degup darah
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh,
juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi
demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.
1963
Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta,
Agustus 2001.
Tokoh mitologi jawa,
Raja Pariksit dalam versi cerita yang diciptakan Goenawan, berjudul Pariksit akhirnya berani membuat pilihan
yang baik dan benar. Dia terancam kutukan: akan dibunuh sebelum matahari
terbenam oleh Naga Taksaka atas pesan seorang Raja Crenggi yang dihinakannya.
Pariksit menyembunyikan diri di atas menara, yang diamankan seoptimal mungkin.
........II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke
langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang
besar.
karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku
Di sana dia menunggu
sendirian, sama sekali terasing dari sesama manusia. GM menggambarkan kesunyian
yang dirasakan Pariksit dibagian I dan IV
I
.............
Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga
serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat
sunyi.
seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.
IV
“... begitu sunyi, terenggut dari alam dan
nasibku sendiri”
Tampaknya dia
menganggap persembunyiannya berhasil dari kutukan kematiannya.
dan telah kuhindari maut, mautku sendiri.
Tetapi akhirnya
Pariksit sadar bahwa pembebasan dari maut yang dicarinya bukan pembebasan yang
sungguh-sungguh yang dinobatkan dalam menara itu tidak lain hanya ketakutannya,
ketakutan akan: “selamat tinggal yang kekal” yang juga diungkapkan dalam kata-kata lain seperti: “angin yang
purba, yang semakin purba: dingin dan asing”
Pada akhirnya dia
menyerah “Pada akhirnya kita tak senantiasa bersama, Ajal memisahkan kita
masing-masing tinggal” lalu dia menyeru “Maka, Taksaka,
leburlah aku dalam seribu api!/ Dan mati.” Sebab maut
bagi manusia wajar bahkan “Demi matiku,
kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini {...} dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga”. Dengan penerimaan maut sebagai sesuatu yang wajar manusia
dapat menerima lingkaran eksistensi:
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi,
siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian
fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara
Tidak hanya dalam
Pariksit kita bisa menemukan betapa kentalnya kejawaan GM. GM merupakan orang
Jawa yang memiliki intelektualitas tinggi tidak memberikan peran kepada tokoh
puisinya sebagaimana pada umumnya ia melihat dari kacamata lain yang membuat
pembaca merasakan sisi lain dari cerita yang sebelumnya telah didengar tentang
tokoh-tokoh jawa. Intelektualitas yang dimiliki GM tidak hanya sebatas pada
pemilihan cara pandang tapi juga pada setiap lariknya yang dapat dirasakan
sebagai perenungan mendalam tentang bagaimana mengatur pola pikir yang baik.
Jika dalam cerita kebanyakan raja Pariksit mati begitu saja setelah digigit
naga Taksaka di sini GM memberikan arti lain sebelum hal itu terjadi. GM
mengungkapkan kondisi batin Pariksit saat ia menunggu kutukan akan dirinya
berakhir bahwa penghindaran akan kematian sebenarnya adalah hal yang sia-sia,
jika memang nanti ia bebas dari kutukan kematian itu yang terjadi sebenarnya
adalah penundaan saat kematian itu terjadi.
.......Jika saja aku
selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat
dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan
akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku.
Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak
dibebaskan.
.......Dan tak kukenal wajahku kembali.
Dalam transformasinya,
Goenawan seperti berposisi sebagai seorang jurnalis yang memberikan sebuah
realitas kepada pembacanya. Namun realitas yang ada dalam sajak Goenawan adalah
realitas yang telah mengalami pendalaman, dalam arti dia telah memilih salah satu
sudut pandang tertentu yang lebih menukik ke sasaran tema yang dikehendakinya.
Di sini, berita sudah menjadi tidak sekedar berita yang hanya mengabarkan
permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah perenungan yang dalam tentang sebuah
nasib yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Meskipun dalam kapasitas raja
sekalipun, Pariksit yang penuh pengawalan ketat prajurit dan rakyatnya, jika
nasib telah menggariskan dirinya harus mati maka pembunuh itu bisa lolos dari
pengawalan dengan leluasa dan mencabut nyawa sang raja.
Dalam sajak Pariksit
Goenawan mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal
rakyatnya berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri
dan tak dipengaruhi oleh kekuatan pembimbingan raja.
Mereka yang
mendoa, sementara aku tiada berdoa.
Mereka yang kini mempunyai angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka tak tahu kita
tak bisa berbagi.
Kisah Pariksit tidak sekedar sebuah cerita yang
mengungkapkan matinya raja terakhir kaum Pandawa, tetapi Goenawan berhasil
mengungkapkan sisi lain yang jauh dan dalam, yang menukik ke dasar kalbu
kemanusiaan tentang nasib yang ketika tidak terjadi hari ini maka akan terjadi
dihari berikutnya, bukan pasrah yang ia maksudkan tapi keberanian dalam
menghadapinya. GM mengungkapkannya lewat seruan yang diwakilkan Pariksit
.......Demi matiku,
kutunjukkan padamu segala
Yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada
pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan
padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun
terurai,
seperti musim bunga.
Hampir semua
sajak Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, sejarah dan
dongeng, berita dan kedalaman. Dalam kapasitasnya sebagai jurnalis,
intelektual, dan penyair. Dengan demikian sajak-sajak Goenawan adalah sebuah
ungkapan intelektual yang mempunyai keberpihakan pada sesuatu yang dilindas dan
ditindas kekuasaan. Sajak-sajak Goenawan merupakan bebunyian yang betul-betul
mempunyai makna yang dalam, sehingga bukan saja berita yang didapat pembaca
tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang ujung-ujungnya melahirkan pula
semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita atau realitas yang dikabarkan
sajak-sajak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar