Duh!
Nyawa Tinggalkan Ragaku
Oleh: Ninis Sofie
Entah siapa yang sebenarnya pedang,
apakah waktu itu sama dengan pedang ataukah pedang yang telah membunuh waktu.
“kebenaran yang sebenarnya tak tahu itu benar”
nyawa,
kapan terakhir kali kau akui raga sebagai dirimu
nyawa,
bagaimana kau mengungkapkan bahwa ragaku adalah kamu
duh!
nyawa sudikah dirimu untuk menjadi raga
raga,
kapan pertama kali kau merasai bahwa nyawa selalu merabaimu
mamanjakan
mu menjadikanmu tuan dan nyawa adalah hamba setiamu
raga,
mengapa tak kau sadari bahwa kau tak pernah sendiri
aku
memang tidak hanya diriku
ada
kau dan dirimu
kita
berdua atau menjadi bertiga untuk kemudian menjadi satu dalam tubuh yang
tersebut manusia
**
Kereta
itu tiba-tiba saja telah lewat
Bukan
hal yang aneh untuk kehidupan direntaku yang telah lama tak kunjung usai
Hanya
kereta itulah sumber kebisingan dalam kehidupanku
Aku
tak memahami dimana kakek
Akulah
nenek
Ketika
aku mulai mendengar suara dalam sayup gendang telingaku yang kurasa mulai sulit
bergetar hingga aku terlalu sulit mendengar bunyi sedalam itu.
Aku
ingin keluar menyaksikan kereta itu, menyaksikan diriku yang renta tak kunjung
usai
Kiranya
angin akan menjadi kakek, maka aku akan menjadi hujan, entah bertemu atau hanya
akan bersapa, tak selayak pasir dan kerikil dan setidaknya aku adalah nenek
Panjang
gerbong masih tetap sama, 7 gerbong dengan satu gerbong barang, tak pernah
berubah semenjak angin yang menemaniku tadi menghilang tak akan pernah kembali
lagi.
Aku
menyaksikan bagaimana moncong hitam itu mulai sedikit demi sedikit muncul
hingga membesar kemudian berwujudlah kereta api penemanku dari utara ke selatan
atau dari selatan ke utara dengan penumpang berbaju tebal karena padang salju
tak ragu menutupi setiap tanah hingga berubah menjadi uban selayak diriku.
Gerbong
1, gerbong 2, gerbong 3, gerbong 4, gerbong 5, gerbong 6, gerbong 7
Selesai
Telah
aku lewati gerbong-gerbong itu hanya dalam sekali pandang
Bayangkan
jika aku keluar 1 menit tidak lebih awal maka pemandangan yang kulihat tak akan
sedemikian kali
Bahkan
jika hanya 1 detik lebih akhir semua akan menjadi tidak sama. Sebegitu kuatkah
waktu yang terkatakan fana
Entah
siapa yang sebenarnya pedang, apakah waktu itu sama dengan pedang ataukah
pedang yang telah membunuh waktu. “kebenaran yang sebenarnya tak tahu itu
benar”
Jika
itu lebih akhir
Tapi
bagaimana jika lebih awal
1
menit lebih awal, atau bahkan 15 detik lebih awal, kita sudah sama-sama tahu
bahwa semua akan terlihat berbeda termasuk suasan hati yang terasa walau tak
teraba, karena tak semua hal dapat kita rasakan bersama
***
Hari
berkutnya aku terbangun dengan kebisingan yang tak berbeda
tapi
bukan berarti aku bangun tepat waktu
hanya
saja aku sudah tak lagi mengenal waktu setepat dulu, sedalam atau sesempurna
sebelumnya
Kau
bertanyakah
Kapan
aku ke kamar mandi dan makan
Aku
tak lagi memerlukan itu
Aku
bisa melakukannya dimanapun dan kapanpun aku mau karena disini hanya aku
dan
nenek adalah aku
Angin
telah memejamkan mata tak akan menemui ku lagi
Kakek,
kau tingalkan nenek sedemikian hina hingga aku hanyalah nista
Padang
sahara putih ini menjadi pelampiasan saja terhadap kejamnya batin yang telah
menyiksa semua ragaku
Kemana
nyawa yang masih dalam raga, mengapa terasa ada yang hilang yang tak kan pernah
bisa kembali?
Kau
kah itu kek
kereta
api masih ku nikmati dengan cara yang sama persis dengan hari-hari sebelum hari
ini
***
Hari
berikutnya aku tak lagi membunuh kebosanan dengan kebisingan yang sama
Aku
tak lagi membiarkan malam dan siang menyaksikan nenek berdiri tertegun
memandangi gerbong kereta api yang tak pernah saling menyapa dalam pertemuan
rutinnya padahal aku sudah bilang janji akan selalu menemuimu disini ditempat
yang sama tapi kau seperti tak
peduliakan aku kereta api penemanku
Maka
kali ini juga tidak akan memperdulikanmu
Aku
berjalan, menyusuri rel yang ketika kupandangi menjadi jalan setapak menuju
kehidupan kedua setelah kehidupan pertama yang cukup menyenangkan karena
terlalu lama terpuruk dalam kenangan basi.
Aku
sadar
Lamunanku
buyar
Aku
menghindar dari rel itu
Rel
adalah besi batang untuk landasan jalan kereta api jika aku tetap berada disitu
maka kakek akan membenciku karena mati denga cara yang sama
Dia
akan merasa aku lebih bodoh darinya karena tidak mempunyi ide lain untuk hanya
sekedar mengeluarkan kehidupan dalam raga yang tak sepenuhnya bernyawa ini,
karena setengahnya telah kau bawa kek
Aku
kembali menempati poisisi yang sama seperti halnya hari-hari sebelumnya
Dan
aku tahu posisi itu telah menertawakanku karena aku tak kuasa untuk kembali
padanya
Seperti
membunuh kucing yang paling kita sayangi, tak tega tapi kita adalah pembunuh
maka harus ada yang mati
Begitulah
tempat itu berkata
Sekejam
ini atau sesendu itu
Setidaknya
darah telah banyak keluar dari perutku
Aku
mulai pusing aku sengaja membiarkannya tetap mengalir untuk keluar dan
membiarkan nyawaku terbang bebas
Kau
bebas sekarang, kau tidak lagi diperbudak oleh raga yang selalu membebatmu
dalam tubuh serenta waktu yang telah juga meninggalkanku
Kereta
itu telah jatuh pada gerbong ke 2 ketika dunia sudah menjadi gelap, aku
tersenyum karena nyawa telah pergi meninggalkanku
Terima
kasih nyawa kau selama ini telah bersedia menemani raga ini
Kali
ini Shinkasen menjadi lambat saja
Misalnya
saja kereta api penemanku datang lebih awal 1 menit atau 1 detik saja maka dia
akan tahu apa yang telah membuat nyawa meninggalkan ragaku
Misalnya
saja kereta api penemanku terlambat 1 menit atau 1 detik saja maka ragaku akan
semakin terbenam dalam hamparan uban putih dalam sahara itu
Terima
kasih nyawa kau telah memberanikan untuk bebas dari persembahan budak yang
dalam pertemuan kita tak pernah hadir.
Entah siapa yang sebenarnya pedang,
apakah waktu itu sama dengan pedang ataukah pedang yang telah membunuh waktu.
“kebenaran yang sebenarnya tak tahu itu benar”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar