KETIDAKADILAN YANG BERBALUT SENYUM
dari Karyamin oleh Ahmad Tohari
Oleh: Ninis Sofie
Oleh: Ninis Sofie
Cerita yang mewakili sebuah kehidupan seperti itulah kiranya ketika kita
membaca cerita Senyum Karyamin karya
Ahmad Tohari. Banyak pengarang yang menampilkan kehidupan sehari-hari dalam
karya sastranya. Baik itu diungkapkan dengan apa adanya dengan kesederhanaan
yang tercipta dari peristiwa yang ada, atau mungkin diungkapkan dengan penuh
dramatis yang sangat memilukan hati. Cerita pendek adalah cerita yang selesai
dibaca dalam satu kali duduku. Namun tidak demikian dengan Senyum
Karyamin, ketika dibaca sekilas ini adalah cerita sederhana yang terjadi
dilingkungan kita dan hanya sekedar menjadi penglihatan tanpa ada hal yang dilakukan
setelah kita melihatnya. Di sini ahmad Tohari memberikan hal lain dari sebuah
peristiwa yang sangat sederhana.
Pada awal cerita telah diketahui bahwa peran utama dalam cerpen ini ialah
seseorang yang bernama Karyamin. Karyamin yang memiliki pekerjaan sebagai
pengangkut batu kali, dalam cerpen ini diceritakan dalam satu waktu tapi dapat
diketahui bagaimana kehidupan seorang Karyamin. Disamping menceritakan tentang
Karyamin, dalam cerpen ini juga dideskripsikan sesuatu yang berada disekitarnya
yaitu tempat, situasi, dan waktu dengan sangat detail, sehingga pembaca yang
membaca dapat mengimajinasikannya, tanpa keluar dari cerita. Misalnya
pendeksripsian pada keadaan ketika Karyamin mengangkut batu dari keranjang
kemudian terjatuh, atau ketika mendeskripsikan keadaan Karyamin.
“Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan
lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala
perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan
tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah.
Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya
uncul menyembul kulit”
Dalam cerpen ini Karyamin sedikit memusatkan perhatiannya oleh sebuah
burung paruh udang yang terbang disekitarnya. Mungkin pikirnya burung tersebut
agak mengesalkan karena telah membuatnya jatuh, tapi kemudian rasa kesalnya
luntur saat si burung ini mencoba menangkap seekor ikan dari danau. Lebih jauh
Karyamin memikirkan tentang si burung ini, bahwa sama dengan dirinya burung ini
tengah mencari makan untuk anak-anaknya. Menurut saya, pengarang menghadirkan
burung paruh udang ini untuk mencitrakan diri seorang Karyamin lebih jauh, di
sini Karyamin memang terlihat cukup perhatian dengan seekor burung, dan mungkin
Karyamin terlalu pemikir.
“mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada
sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya
biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung
itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa
di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari
rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin
terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua
keranjangnya yang kosong.”
Berdasar kutipan tersebut ada kalimat yang cukup menarik, yaitu Karyamin
merasa iri hati. Karyamin seolah-olah ingin menjadi seperti burung paruh udang
tersebut yang dengan menggunakan sayap dan paruhnya untuk membawa makanan ke
tempat tinggalnya, hanya terbang dan menangkap ikan kemudian pulang ke
sarangnya dan menikmati makanan bersama anak-anaknya. Sementara Karyamin susah
payah merauk batu yang tidak memiliki banyak untung belum tentu mendapat uang,
apalagi untuk makan anak-isterinya.
Jika dilihat lebih detail mengenai burung si paruh udang yang berwarna biru
mengkilap, berdada putih, dan berparuh merah. Lihatlah lebih dekat, ada warna
merah, putih, biru yang merupakan warna dari sebuah bendera yang telah menjajah
negara Indonesia selaman 3,5 abad. Pengarang ingin menyampaikan bahwa sampai
saat ini kita masih mengalami penjajahan bukan penjajahan atas perebutan
kekuasaan seperti pada zaman dahulu kala tapi penjajahan atas kelaparan yang
tak pernah habis kehadirannya. Kelaparan yang terjadi di depan mata sementara
orang lain dengan begitu mudah membuah makanan yang tidak habis dimakan. Hal
inilah yang mungkin mengakibatkan muncul pepatah ‘kalau orang miskin berkata
hari ini makan apa tapi kalau orang kaya berkata hari ini makan siapa’.
Cerpen yang berjudul Senyum Karyamin
di sini rupanya memang penekanan khusus pada senyum si tokoh Karyamin, seorang
pengumpul batu. Mungkin diawal-awal ada anggapan bahwa cerita ini akan berjalan
ceria dan ringan karena kata “senyum” merupakan kata positif, memang benar
positif tapi setelah membaca cerita ini dapat dilihat Karyamin selalu membawa
sebuah senyuman untuk sedikit meringankan hidupnya yang ‘berat’.
“Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu,
memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan
Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau
senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka
adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu,
atau terhadap licinnya tanjakkan. Pagi itu Senyum Karyamin pun menjadi tanda
kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.”
Pengumpul batu saja dapat tertawa bergembira dalam pekerjaannya yang berat,
yang merasakan lapar teramat sangat setelah beberapa hari tidak makan karena
batunya yang tidak terjual dan juga kerjanya yang sangat membuat lelah setiap
hari, apalagi saya yang hanya membacanya saja. Senyum selain merupakan ibadah
yang paling murah, juga dapat membuat hidup tidak terlalu berat karena banyak
sekali manusia yang selalu mencemaskan hidup hingga tidak melihat sekitar dan
selalu murung. Kembali pada cerita ini, dalam keadaan lapar dan kunang-kunang
pun Karyamin tetap tersenyum, ia tidak mau menambahkan beban pada dirinya dan
juga pada Saidah yang selalu dihutanginya dan teman-temannya.
”Jadi kamu sungguh
tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun
tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah
berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya
sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada
yang mengganjal di tenggorokan yang berhasil didorongnya ke dalam.”
Karyamin berwatak sangat peduli menurut saya lewat kutipan tersebut. Setelahnya
Karyamin berjalan pulang tanpa alasan, mungkin juga karena sudah jadi takdir
pengarang sehingga Karyamin akhirnya pulang dengan alasan menemui istrinya.
Sebelumnya, pada awal cerita dikisahkan pula tentang isteri Karyamin yang sering
didatangi oleh beberapa pria dengan alasan klise, entah itu benar atau tidak
karena hanya anggapan teman-teman Karyamin.
”Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu
loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan
gemuk.”
Walaupun tidak diceritakan oleh pengarang tentang watak dari istri
Karyamin, sepertinya Karyamin cukup beruntung memiliki istri yang menjadi
perhatian oleh beberapa orang. Meski berbahaya, setidaknya Karyamin yang seorang
tukang angkut batu itu memiliki istri yang sampai temannya saja iri padanya. Di
akhir kisah, Karyamin yang hendak kembali kerja karena tidak tahu apa gunanya
untuk pulang dicegat oleh Pak Pamong. Ia bermaksud meminta sumbangan pada
Karyamin, tapi ia mengira bahwa Karyamin menghindarinya.
“Di
gerembul ini hanya kamu yang belum berpartisiasi. Hanya kamu yang belum setor
uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah,
sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”
Kemudian Karyamin tersenyum dan Pak Pamong merasa tersindir. Karyamin
justru tertawa sekerasnya, ia sempoyongan, dan akhirnya jatuh ke lembah. Senyum Karyamin yang terakhir itu
memiliki makna. Yaitu untuk makan sehari-harinya saja bagi Karyamin belum tentu
bisa, jelas di cerita ini juga digambarkan bagaimana Karyamin matanya
kunang-kunang, telinganya bising, perutnya bunyi karena lapar. Dengan keadaan
yang demikian, ditambah ada seseorang yang menagih uang padanya pastikan mengundang
emosi. Bila dipikir, apa juga yang dapat ia beri untuk menolong orang-orang
kelaparan itu padahal Karyamin juga termasuk orang-orang kelaparan.
Sedikit saat kita bisa mencurigai bagaimana cara pengarang memasukkan
identitas dirinya ke dalam cerpen adalah ketika melihat kutipan berikut
“maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap
kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju
batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak
kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.”
Mungkinkah pernah muncul pertanyaan mengapa harus ada kopiah di sana. Jika
dilihat dari latar belakang pengarang yang seorang islami mungkin di sini lah
pengarang ingin memerankan sedikit dirinya terhadap cerita yang ia tuliskan
bahwa kopiah adalah salah satu ciri yang memungkinkan untuk menggambarkan
islami dari pengarang. Pengarang mungkin ingin tetap memunculkan identitas
dirinya untuk tetap hadir dalam cerita.
Ada sedikit kalimat yang diulang dalam cerpen ini yaitu “... dengan cara menertawakan diri mereka
sendiri”. Pesan yang sangat dalam yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca sehingga pengarang mengulang kata-kata tersebut sampai tiga
kali. Pesan yang dimaksud ialah bahwa dengan menertawakan diri mereka sendiri
itu merupakan satu-satunya hal yang bisa dilakukan secara bebas ditengah
kesengsaraan yang sedang dialami. Kesengsaraan orang-orang kecil (pekerja kali)
sementara para wakil rakyat yang seharusnya bisa memfasilitasi rakyat malah
bersenang-senang dengan kesenangannya. “menertawakan diri sendiri”
(menertawakan ketidakadilan yang tidak bisa diadilkan).
Cerpen Senyum Karyamin ini lebih
menekankan pada senyuman Karyamin yang terakhir, di mana ketidakadilan terjadi
padanya yang segelintir dari masyarakat miskin. Ketidakadilan sang tengkulak
yang menggelapkan uang untuk Karyamin ataupun pemanggul batu lainnya juga
ketidakadilan saat menagih uang pada Karyamin, padahal ia juga kelaparan. Ia
hanya dapat tersenyum menerima nasibnya.
SENYUM KARYAMIN
SENYUM YANG SEBENARNYA ATAU HARAPAN PALSU
sekilas orang akan melihat saat-saat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar