Translate

Rabu, 01 Mei 2013

Cerpen


KEMBALIKAN YANG KAU CURI
Oleh: Ninis Sofie

Hari itu ada yang terasa janggal dalam pikiran yang melintas begitu saja. Aku tak mengenal manusia sejernih itu
Apalah daya hati saat kau ternyata benar-benar tersenyum dalam dendam rinduku yang telah kau ikrarkan ketika kita masih terus saja mengingat dan saling melihat walau hanya dalam hati dan mimpi.
Pertemuan yang katakan adalah adik
“aku kakakmu” kau bilang dari bibir merahmu yang tak pernah sekalipun menyentuh bau tembakau itu.
Harusnya kau tahu kakak
Bahwa bumi ini masih belum berhenti berputar
Kau mengibaratkan hatiku tak lain adalah adikmu
Lalu kau kemanakan perasaan merah muda yang telah kau rawat selama ini dari dunia maya kita. Seakan hatiku tak lagi merasakan pasrah yang kau ajarkan untuk selalu memberikan persembahan benar kepada-Nya.
Pertemuan yang ku lihat sekilas itu tak pernah kulupakan untuk sedetik senyum yang kau sumbangkan karna aku bersama temanku. Salah aku juga membiarkanmu merasakan kehadiranku sebagai adikmu
Aku tak lagi kuat ketika aku benar-benar melihat sorot matamu yang terlalu tajam. Bahkan kau membenci persentuhan salam yang selama ini aku lakukan
“Aku kakakmu” perkataanmu itu tak pernah hilang dalam pikiranku kemanapun aku ada, hanya saja hadir dalam suasana dan waktu yang tak lagi sama.
“aby”
Aku tak pernah melakukan ucap dan berkata lagi kata itu. Andai saja, seumpama saja, aku adalah insan yang bisa merubah diri menjadi setitik cahaya harapmu aku akan melakukannya tanpa kau tahu. Tapi nyatanya aku adalah adikmu begitu ucapmu.
Andai kau tahu sebelum aku mendengar dari mulutmu sendiri perkataan itu. Aku tak memahami jantung yang berdetak terlalu cepat sampai aku terlalu sulit untuk bernapas.
Kau tanam duri dalam gersang padang rumputku dan aku tak pernah mampu membuat rumput baru untuk hanya sekedar menanam. Semua teserah padamu
“tapi aku kakakmu”
“aby”
Aku ingin mengguyurkan hujan dari sudut kelam mataku bila kenangan itu melintas tak hentinya karna memang tak pernah berhenti untuk melintas
*****
Lama aku tak lagi mendengar selayang apapun tentang dirimu. Apakah kau tetap mengaku sebagai kakakku
Apakah aku tetap kau anggap adikmu
Sesak dadaku merasai jingga dilangit yang ikut menutupi kelelahan hati
“aby” ingin kuucap kata itu untuk kemudian kau dengar menjadi suara
Dulu kau mengajariku bagaimana aku harus tetap berada dalam istana yang kau anggap putih dan sucimu. Ketika aku menanyakan hal yang kau anggap hitam kau ucap aku akan tersesat
Sebenarnya kah atau aku hanya terlalu takut kehilangan mu “aby”
Dimana kau hidupkan bara asmara yang kini kau bekukan sedingin es, bahkan sehancur debu yang semua orang tak mengarapkannya
Kau lukiskan rindu untuk menyiksa ku, mengikatkan cintaku padamu agar aku tak pernah lari. Tapi kaulah yang meninggalkanku saat simpul talimu begitu erat. Kemana kau bawa lari cintaku hingga yang tersisa hanyalah hati. Kemana aku harus mencari cinta untuk nanti kuberikan kepada seorang yang andai saja ada yang melepaskan aku dari simpul cintamu.
“aby” hanya itu yang sekarang terdengar dari mulutku sendiri
Jiwaku merana. Kau biarkan semakin gersang padang rumputku. Kau tak mengijinkan aku menanam tapi kau juga tak pernah merawatnya. Aku tak pernah bilang kau kejam karna memang akulah yang ternyata terlalu diam dan tak bergeser.
Saat ternyata ada yang bersedia mencoba untuk melepas simpul talimu aku membiarkan diriku tercebut byur kelaut  yang terlalu dalam. Aku memasuki padang rumput laut baru yang semakin dalam akan semakin mematikan. Tapi tetap simpul itu tak bisa lepas dalam rohku walau ternyata jasadku telah bebas
Saat aku mencoba membiarkan diriku tetap berada dalam air kau muncul lagi dengan tanpa dosamu.
“kau adikku dan aku kakakmu”
Kata-kata yang tak pernah ku dengar selama aku selalu diam terikat kini terdengar menjadi mantra menakutkan yang tak berani ku sentuh ataupun ku ucap
Kau bilang air bukan dunia yang akan menuntunku dalam jalan yang sebenarnya
Kalau kau memang ingin aku selalu berada dalam jalan yang kau anggap benar kenapa kau hanya menyalahkan ku saat aku salah. Kemana pergimu “aby” saat aku kebingungan menapakai jalan setapak yang berliku dan bercabang terlalu banyak.
Aku tak mengerti dan aku masih belum bisa memahami kata-kata yang kau bisikkan kepada roh terikatku.
Bila ternyata aku adalah adikmu. Lalu untuk apakah kau ikat cintaku untuk apakah kau bawanya berlari hingga aku tak bisa merasakan sakit saat aku tersakiti. Untuk apakah “aby”
Kau menyiksaku padahal kenikmata dunia sebenarnya bisa kunikmati. Kau hilangkan rasa ku hingga aku tak pernah mampu merasakan apa. Kau tinggalkan hina yang ku anggap itu bisa kurasakan.
“aby” apakah ternyata aku sudah mulai berani
***
“aby” apakah aku sudah boleh menyebutmu kejam
Apakah orang-orang diluar sana juga memikirkan hal yang sama atas apa yang aku pikirkan
“kau kejam aby”
Aku sudah berani menambah kata-kata untuk ku ucap untukmu walau ternyata kau tak pernah mendengar ucapku.
Apakah aku ternyata sudah berani menanam rumput dalam gersang padang rumput yang ku hidupi dulu sebagai rumah jiwa dan ragaku
Apakah aku ternyata sudah bisa mengurai sendiri simpul cintamu. Aku bisa mengatakan bahwa aku bisa dari dulu tapi kemauan yang tak pernah ingin aku lakukan.
Tapi aku tetap bertanya
Dimanakah kiranya kau sembunyikan cintaku yang kau curi dari hati yang terbuka tanpa ada kunci yang akan menutupinya lagi.
“aku kakakmu dan kau adikku”
“aby”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar