BAHASA SEBAGAI DIALEK
Bahasa adalah sistem lambang berupa
bunyi yang bersifat arbitrer yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk saling
bergantung, dan mengandung struktur unsur yang bisa dianalisis secara terpisah.
Dialek adalah bahasa sekelompok
masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Kedudukan bahasa dan dialek
ialah dialek berada dibawah bahasa hal ini seperti yang dikemukakan oleh Aslinda (2007) bahwa dialek merupakan
variasi bahasa dari sekelompok individu. Dialek merupakan variasi dari bahasa,
kedudukan dialek berada di dalam bahasa itu sendiri.
Bahasa dalam pengertiannya
sehari-hari merupakan kebudayaan yang hidup dilingkungan kita, melekat pada
diri dan kita terkadang tak mengerti apa sebenarnya bahasa itu sendiri. Bahasa
adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat arbitrer. kearbitreran bahasa
itu kemudian memunculkan ragam-ragam bahasa.
Pertama ragam bahasa baku. Ragam
bahasa baku terdiri atas dua macam yaitu RBL (Ragam Baku Lisan), RBT (Ragam
Baku Tulis). Ciri dari ragam bahasa baku yaitu jumlah penutur asli lebih
sedikit daripada penutur bahasa, ragam bahasa baku merupakan ragam bahasa yang
biasa diajarkan kepada orang lain yang bukan peutur asli indonesia, ragam
bahasa baku dapat dipahami oleh masyarakat luas, serta dipakai secara
konsisten.
Ragam yang berikutnya adalah ragam
bahasa nonbaku. Perbedaan ragam baku dan ragam nonbaku ialah, dari segi bunyi
(fonologi) ragam baku mempunyi aturan ejaan yang diatur dalam EYD (Ejaan Yang
Disempurnakan) hal-hal yang tidak diatur dalam EYD tentu saja akan
mengakibatkan terjadinya kebebasan dan persaingan antara dua bentuk. Perbedaan
berikutnya ialah bahwa ragam baku punya ketentuan sendiri tentang pelafalan.
Perbedaan dari segi morfologi ialah pemakaian ragam baku lebih konsisten
daripada ragam nonbaku.
Berikutnya ialah ragam umum. Ragam umum merupakan
bentuk yang umum digunakan di masyarakat awam, walaupun tidak sesuai dengan
kaidah (KBBI).
Diaglosia merupakan sejenis
pembakuan bahasa ketika ada dua ragam baku yang sama-sama diakui situasinya. Ferguson (dalam Alwasilah, 1990:136) memberikan batasan diglosia yaitu, “Diglosia adalah suatu situasi
bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama suatu
bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku
regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan
(sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana
dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada
kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak
dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan
tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun
dalam pembicaraan-pembicaraan biasa”.
Perbedaan-perbedaan
yang terjadi dalam bahasa menghasilkan variasi bahasa yang disebut dengan
istilah berlainan, salah satunya ialah dialek. Dialek adalah bahasa sekelompok
masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Ciri dialek ialah
kesalingmengertian (mutual intelligible), ciri sejarah, dan homogenitas yaitu
adanya kesamaan unsur-unsur bahasa tertentu. Selain istilah dialek dalam
variasi bahasa ada juga istilah-istilah lain seperti yang dikemukakan oleh Nababan (1986) yaitu sosiolek dan
fungsiolek. Sosiolek merupakan ragam bahasa yang sehubungan dengan kelompol
sosial. Sedangkan fungsiolek merupakan bahasa yang sehubungan dengan situasi
berbahasa dan atau tingkat formalitas.
Bagaimanpun variasi atau ragam
bahasa itu berkembang bahasa merupakan alat penyatu yang tidak saja merupkana
hasil dari budaya tapi juga merupakan hasil dari perkembangan zaman yang terus
berlanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar